Jumat, 10 Maret 2017

Membrane Transporters: Sebuah Sistem Transportasi Ion/Molekul dengan Bantuan Protein Membran pada Sel Makhluk Hidup
Makhluk hidup merupakan suatu organisme yang ada di muka bumi ini. Makhluk hidup terdiri atas manusia, hewan dan tumbuhan. Semua makhluk hidup memiliki organ  dan kesatuan sistemnya yang berfungsi untuk memainkan peran-peran tertentu agar memenuhi kebutuhan sang makhluk hidup dalam tumbuh dan berkembang. Kesatuan organ dan sistemnya tidak lepas dari unsur penyusunnya, salah satunya adalah sel.

Sel merupakan satuan unit terkecil pada makhluk hidup. Semua organisme, baik manusia, hewan, dan tumbuhan tersusun atas jutaan sel oleh karena itu sel disebut sebagai satuan struktural dari makhluk hidup. Semua aktivitas yang dilakukan oleh makhluk hidup tersebut selalu melibatkan peran dari sel. Begitu pentingnya peran sel bagi makhluk hidup, maka sel juga sering disebut satuan unit fungsional dari makhluk hidup. Sel disebut sebagai satuan unit fungsional karena tubuh makhluk hidup dapat menyelenggarakan kehidupan jika sel-sel penyusunnya berfungsi dengan baik.
Sel berdasarkan ada tidaknya struktur membran nukleus, dibagi ke dalam dua jenis sel, yaitu sel prokariotik dan eukariotik. Baik sel prokariotik maupun eukariotik memiliki membran pada struktur selnya. Membran sel tersusun atas lipid, protein dan sedikit karbohidrat. Diantara ketiga komponen penyusun membran sel tersebut, lipid menjadi komponen paling besar, yaitu dalam bentuk fosfolipid. Dimana fosfolipid ini merupakan molekul yang bersifat ampifatik, yang memiliki wilayah hidrofilik dan hidrofobik sekaligus. Selain itu, membran sel juga tersusun atas sebagian besar protein dalam membran yang juga bersifat ampifatik seperti halnya fosfolipid. Membran sel memiliki struktur berupa lipid bilayer dimana membran terdiri atas dua lapis fosfolipid dan terdapat pula protein yang tertanam di dalam atau melekat pada lapisan ganda (bilayer).
Membran sel atau membran plasma ini merupakan suatu struktur yang ada pada sel yang berfungsi untuk melindungi sel dan menjadi suatu perbatasan yang memisahkan sel hidup dari lingkungan sekelilingnya. Membran sel juga berfungsi dalam mengontrol lalu-lintas suatu zat yang ingin keluar dan masuk sel. Pengontrolan ini dilakukan karena membran sel bersifat selektif permeabel, artinya hanya memungkinkan beberapa zat yang mampu masuk dan menembus membran secara mudah daripada zat-zat yang lainnya.
Pengontrolan lalu-lintas zat keluar-masuk sel yang dilakukan oleh membran sel memungkinkan sel untuk memiliki pH yang sesuai, dan konsentrasi zat-zat menjadi terkendali sehingga memungkinkan sel untuk memperoleh suatu zat-zat atau ion yang dibutuhkan serta membuang berbagai zat racun atau zat yang sudah tidak diperlukan. Semua pengontrolan ini tergantung pada transportasi zat-zat yang melewati membran. Mekanisme perpindahan molekul atau ion melalui membran dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan bantuan protein transpor (transport protein).
Membran sel permeabel terhadap ion-ion spesifik dan beraneka macam molekul polar. Zat-zat yang hidrofilik ini dapat masuk ke dalam sel dengan cara masuk atau menyeberang melalui protein transpor yang membentang di kedua sisi membran. Protein transpor terdiri atas dua macam, yaitu protein saluran (channel protein) dan protein pembawa (carrier protein). Protein saluran berfungsi sebagai tempat bagi zat-zat hidrofilik melewati membran sel dengan cara masuk melalui saluran hidrofilik bagi molekul atau ion atomik tertentu. Misalnya saja lalu lintas air melalui membran pada beberapa sel tertentu melalui protein saluran yang disebut aquaporin. Setiap aquaporin memungkinkan sampai 3 miliar (3x109) molekul air/detik mampu melintasi membran. Tanpa aquaporin hanya sebagian kecil molekul air yang mampu berdifusi pada membran sel dalam sedetik.
Protein saluran atau channel diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu gated channels dan open channels. Pada saluran gerbang atau gated channels, sebuah protein gated channels memiliki situs pengikatan yang spesifik untuk molekul atau ion tertentu sehingga mampu membuka “gerbang” yang memungkinkan suatu molekul mampu melewati membran. Contohnya pada gated channels adalah natrium dari sel saraf yang dirangsang oleh suatu sinyal kimia yang menyebabkan gerbang untuk terbuka sehingga memungkinkan ion natrium mampu masuk ke dalam sel. Berbeda halnya dengan gated channels, dimana dapat membuka dan menutup tergantung sinyal yang di dapatnya, pada open channels saluran ini akan selalu terbuka.
Jenis lain dari protein transpor adalah protein pembawa (carrier protein). Protein pembawa merupakan protein transpor yang bersifat spesifik bagi zat yang di translokasikan (dipindahkan), sehingga hanya memungkinkan zat-zat tertentu mampu menyeberangi membran. Protein transpor jenis ini bekerja dengan cara memegang molekul yang dilewatkannya dan berubah bemtuk sedemikian rupa sehingga molekul tersebut terkirim melintasi membran.

Contoh molekul yang mampu melintasi protein pembawa adalah glukosa. Glukosa yang diangkut di dalam darah sangat dibutuhkan oleh sel darah merah untuk melakukan aktivitas selular. Glukosa mampu masuk ke dalam sel darah merah secara cepat dengan melalui protein pembawa yang ada pada membran sel darah merah, sehingga glukosa mampu melintasi membran tersebut 5000x lebih cepat daripada berdifusi sendiri. ‘Transporter’ glukosa ini sangat spesifik, sehingga fruktosa yang merupakan isomer struktur glukosa pun ditolak atau tidak mampu melintasi membran sel darah merah tersebut.
Pada protein pembawa atau carrier ini diklasifikasikan menjadi tiga pola, yaitu uniport, symport dan antiport. Pada sistem uniport (pengangkutan tunggal), yaitu sistem pengangkutan hanya satu macam substrat oleh protein transport yang berasal dari salah satu sisi membran ke sisi membran yang lain. Sedangkan symport merupakan sistem pengangkutan dua macam substrat oleh protein transport di waktu yang bersamaan melalui membran dengan arah yang bersamaan dari satu sisi membran ke sisi membran yang lain. Contoh symport adalah pengangkutan dari gula dan Na yang digerakkan secara aktif ke dalam sel. Sedangkan antiport merupakan pergerakan substrat bergerak dalam arah yang berlawanan dengan gerakan ion. Protein carrier jenis ini terlibat dalam proses transport aktif karena memerlukan ATP dalam proses pergerakan/pepindahan substrat tersebut. Contohnya saja pada pompa Na dan K dimana setiap 3 buah Na akan dipompa keluar sel sedangkan 2 buah K akan dipompa ke dalam sel. Hal tersebut dilakukan agar sel selalu terjaga homeostasisnya.

DAFTAR PUSTAKA
Campbell, et.al. Biologi Edisi Kedelapan Jilid 1. Jakarta: Erlangga. 2010
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK21592/. Diakses pada 30 Januari 2017 Pukul 19.00 WIB
Syamsuri, Istamar. Biologi untuk SMA Kelas XI Semester 1. Jakarta: Erlangga. 2007


ANALISIS KONSEKUENSI SESEORANG AKTIVITAS TINGGI DENGAN CANDU AKAN NIKOTIN DAN ALKOHOL TERHADAP REGULASI SISTEM METABOLISME TUBUH

Rokok dan alkohol merupakan dua hal utama yang menyebabkan berbagai permasalahan kesehatan tak hanya bagi masyarakat Indonesia, melainkan juga bagi masyarakat dunia. Rokok menjadi salah satu permasalahan internasional yang telah ada sejak masa revolusi industry. Rokok menjadi penyumbang terbesar penyebab kematian yang terbesar di masyarakat. Organisasi kesehatan masyarakat dunia (WHO) pun telah menetapkan tanggal 31 Mei sebagai hari bebas merokok setiap tahunnya. Berdasarkan hasil survey WHO tahun 2008 menyebutkan bahwa sepertiga dari penduduk dunia terutama orang dewasa adalah perokok. Angka kematian di dunia akibat merokok pun mencapai sekitar 500 juta orang per tahun. Kebiasaan merokok telah terbukti menjadi penyebab sekitar 25 jenis penyakit yang menyerang berbagai organ tubuh manusia. Salah satu efek tidak langsung dari kebiasaan merokok adalah menyebabkan mortalitas dengan meningkatkan berbagai penyakit degenerative pada beberapa sistem organ, seperti sistem pernapasan, sistem kardiovaskular, sistem gastrointestinal (pencernaan), sistem syaraf dan imun.
Ketika seseorang merokok, asap yang dihirup mengandung sekitar 4000 jenis senyawa kimia dalam  rokok, dengan 40 diantaranya bersifat karsinogenik (dapat menyebabkan kanker). Salah satu senyawa dalam rokok adalah nikotin. Nikotin adalah senyawa alkaloid yang dipisahkan dari tembakau.  Kandungan nikotin dalam rokok telah teruji berbahaya dan menimbulkan efek kecanduan dan beracun bagi sel-sel saraf. Nikotin yang terdapat dalam asap rokok dapat masuk ke paru-paru, kemudian masuk ke dalam aliran darah dan selanjutnya dibawa ke otak. Nikotin yang dibawa ke otak akan memicu pelepasan neurotransmitter, salah satunya adalah dopamine yang mampu menimbulkan rasa tenang dan bahagia bagi perokok. Apabila kadar nikotin dalam otak menurun, akan menimbulkan perasaan gelisah dan stress. Paparan nikotin yang berulang pada perokok akan meningkatkan kemampuan adaptasi otak terhadap nikotin. Kebiasaan merokok dapat menyebabkan kerusakan oksidatif pada DNA, sehingga memicu mutasi gen dan kerusakan DNA yang menyebabkan ketidakstabilan genetic dan meningkatkan resiko kanker. Selain itu, nikotin juga akan merangsang pelepasan adrenalin sehingga meningkatkan frekuensi denyut jantung, tekanan darah, kebutuhan oksigen jantung serta menyebabkan gangguan irama jantung. Nikotin yang terbawa dalam aliran darah dapat mempercepat denyut jantung mencapai 20 kali lebih cepat dalam satu menit dari keadaan normal, menurunkan suhu kulit sebanyak satu atau dua derajat karena penyempitan pembuluh darah kulit, dan menyebabkan hati melepaskan gula dalam aliran darah.  Jika hal tersebut terus-menerus terjadi, maka akan memicu terjadinya serangan jantung, mempercepat proses penuaan dan memicu terjadinya diabetes bahkan stroke.
Merokok juga merupakan penyebab 87% kematian akibat kanker paru. Merokok dapat mengganggu kerja paru  yang normal karena hemoglobin lebih mudah untuk mengikat dan membawa karbondioksida dan membentuk karboksihemoglobin daripada membawa oksigen. Orang yang merokok (aktif) dan banyak menghisap asap rokok (perokok pasif), dapat berakibat paru-parunya lebih banyak mengandung karbon monoksida dibandingkan oksigen sehingga kadar oksigen dalam darah  kurang lebih 15% lebih rendah daripada kadar oksigen normal.Selain itu, merokok juga dianggap sebagai penyebab dari kegagalan kehamilan, meningkatnya kematian bayi, dan penyakit lambung kronis.
Selain merokok, mengkonsumsi alcohol juga menjadi pemicu munculnya berbagai penyakit. Alkohol telah menjadi masalah yang umum di seluruh dunia. Dilaporkan bahwa kecenderungan pengkonsumsian alcohol terjadi pada anak muda. . Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh WHO pada tahun 2011, di Indonesia terdapat sekitar 4,3% siswa dan 0,8% siswi paling tidak pernah mengkonsumsi alkohol.
Alkohol banyak menimbulkan berbagai permasalahan seperti mental, social, kriminalitas dan kesehatan masyarakat. Pengkonsumsian alcohol dapat menimbulkan efek merusak terhadap kesehatan seperti kerusakan fisik (seperti hepatitis) dan kerusakan mental (seperti depresi akibat konsumsi alcohol berat). Alkohol secara alami merupakan hasil fermentasi dan memiliki jalur metabolism tersendiri di dalam tubuh. Alkohol mempengaruhi beberapa sistem organ tubuh. Adapun sistem organ yang dipengaruhi antara lain: hati, sistem kardiovaskular, sistem kekebalan tubuh, sistem peredaran darah, pancreas, ginjal dan juga keseimbangan elektrolit. Alkohol juga mempengaruhi penyerapan zat gizi, perkembangan janin serta mempengaruhi resiko untuk menderita beberapa jenis kanker.
Salah satu jenis alcohol yang dapat dikonsumsi oleh manusia adalah etanol. Etanol sebagai zat penting dalam alcohol bersifat mudah larut dalam air dan lemak sehingga etanol akan langsung diserap ke dalam usus melalui difusi pasif. Ketika alcohol dikonsumsi, sekitar 20% diserap oleh lambung dan 80% diserap oleh usus halus. Sekitar 85-98% etanol yang diserap oleh tubuh dimetabolisme di dalam hati, sisanya dikeluarkan melalui paru dan ginjal.
Sekitar 90% peminum alcohol akan mengalami perlemakan hati. Apabila pengkonsumsian ini dilakukan dalam waktu yang lama dapat menimbulkan alkoholik hepatitis, dan sekitar 70% dari pengidap alkoholik hepatitis akan berkembang mengidap penyakit liver cirrhosis, suatu keadaan dimana sebagian jaringan hati telah rusak dan digantikan oleh jaringan parut yang tidak berfungsi. Resiko ini tentunya juga tergantung pada beberapa factor, seperti: jumlah alcohol yang dikonsumsi per hari, lama peminum berat, jenis kelamin, factor genetic dan etnis, kegemukan dan status gizi, tipe minuman beralkohol yang dikonsumsi dan riwayat keluarga mengenai penyalahgunaan alcohol, serta adanya hepatitis C.
Fatty liver (timbunan lemak dalam hati) pada penyakit hati akibat alcohol disebabkan oleh kombinasi gangguan oksidasi asam lemak dan peningkatan lipogenesis oleh karena perubahan potensial redoks NADH/NAD+ dalam hati, serta gangguan terhadap aktivitas factor transkripsi yang mengatur ekspresi enzim yang terlibat. Oksidasi etanol oleh alcohol dehidrogenase menyebabkan kelebihan produksi NADH, sehingga menghambat oksidasi asam lemak dan meningkatkan esterifikasi asam lemak menjadi triasilgliserol sehingga terjadi perlemakan hati.
Efek alcohol berdampak juga pada sistem kardiovaskular dimana pengkonsumsian alcohol ringan dan sedang  mampu menurunkan kadar plak arteri penyebab terjadinya jantung koroner dan adanya peningkatan HDL, suatu penanda kolesterol sehat. Namun apabila alcohol dikonsumsi secara berlebih (peminum berat) akan berdampak buruk bagi sistem tersebut, seperti iregularitas ritme denyut jantung, tekanan darah tinggi dan stroke
Efek alcohol berat juga berdampak menekan produksi sel darah serta menyebabkan abnormalitas sel pembentuk darah. Abnormalitas ini meliputi produksi sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan keeping darah (platelet). Gangguan fungsi pada sel darah merah menimbulkan anemia, sedangkan pada sel darah putih akan menyebabkan kerentanan pada terhadap infeksi, dan pada platelet akan menyebabkan gangguan pembekuan darah.
Efek alcohol juga dapat melemahkan fungsi otot sfingter yang berada diantara esophagus dang aster sehingga menimbulkan esensi dada terasa terbakar. Kerusakan mukosa esophagus juga meningkatkan resiko terkena esofagilitis dan kanker esophagus. Alkohol juga meningkatkan sekresi asam lambung. Disisi lain, konsumsi alcohol kronis menyebabkan atrofi mukosa lambung dan penurunan kemampuan menghancurkan bakteri pathogen dalam makanan sehingga menimbulkan cedera pada usus sehingga molekul berukuran besar termasuk racun bakteri terserap ke dalam darah.,Efek alcohol juga menyebabkan pankreasitis atau radang pada organ pancreas melalui mekanisme perusakan sel pancreas oleh hasil metabolism alcohol. Alkohol juga menyebabkan art
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Remaja, Tembakau dan Rokok. http://ik.pom.go.id/v2016/artikel/REMAJA-ROKOK-Infopom.pdf. Diakses pada tanggal 14 Februari 2017 Pukul 16.00 WIB
Fitria, et.al. Merokok dan oksidasi DNA. 2013 http://download.portalgaruda.org/article.php?article=271121&val=4928&title=Merokok%20dan%20Oksidasi%20DNA. Diakses pada tanggal 14 Februari 2017 Pukul 16.00 WIB
Nurrahmah. Pengaruh rokok terhadap kesehatan dan pembentukan karakter manusia. Prosiding Seminar Nasional Universitas Cokroaminoto Palopo. Volume 1, No. 1. Diakses pada tanggal 14 Februari 2017 Pukul 16.00 WIB
Purnomo et.al. Biologi kelas XI untuk SMA dan MA. Jakarta: Pusat perbukuan Depdiknas. 2009
Putra, Adnyana. Pengaruh alcohol terhadap kesehatan. Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA. 2012.http://download.portalgaruda.org/article.php?article=146041&val=1365&title=PENGARUH%20ALKOHOL%20TERHADAP%20KESEHATAN. Diakses pada tanggal 14 Februari 2017 Pukul 16.00 WIB
Syamsuri, Istamar. Biologi untuk SMA Kelas XI Semester 2. Jakarta: Erlangga. 2007
Utina, Sitirah Salim. Alkohol dan Pengaruhnya terhadap Kesehatan Mental. Diakses pada tanggal 14 Februari 2017 Pukul 16.00 WIB






von Willebrand Disease: Kelainan Darah Akibat Kekurangan von Willebrand Factor (vWF) dan Faktor VIII dalam Darah

Manusia merupakan makhluk hidup yang terdiri atas organ dan kesatuannya yang membentuk suatu sistem. Sistem tersebut bekerja secara berkesinambungan antara satu dengan lainnya sehingga berperan penting dalam kerja metabolisme tubuh manusia. Salah satu sistem yang ada pada tubuh manusia adalah sistem peredaran darah yang berfungsi sebagai sistem transportasi bagi sejumlah nutrient atau zat-zat yang dibutuhkan oleh tubuh untuk diedarkan ke seluruh tubuh manusia tersebut. Salah satu komponen dalam sistem peredaran darah adalah darah. Ketika seseorang mengalami suatu keadaan yang menyebabkan mereka cedera dan mengalami perdarahan, tentunya seseorang tersebut akan mengetahui bahwa pada akhirnya perdarahan tersebut akan segera berhenti. Hal tersebut terjadi karena tubuh akan melakukan mekanisme hemostasis, yaitu mekanisme tubuh untuk menghentikan perdarahan. Mekanisme ini akan melalui beberapa fase penting, seperti pembentukan sumbatan oleh platelet (keping darah) dan fase proses pembekuan darah (koagulasi).
Proses berhentinya darah merupakan hal yang lumrah apabila dialami oleh seseorang yang sehat atau normal. Namun hal tersebut akan berbeda halnya dengan seseorang yang mengidap von Willebrand Disease (vWD), suatu penyakit kelainan darah akibat kekurangan von Willebrand Factor (vWF) dan faktor VIII dalam darah. Faktor von Willebrand (vWF) adalah sejenis protein dalam sel darah merah yang diperlukan untuk pembekuan darah, sedangkan faktor VIII adalah sejenis protein yang diperlukan untuk membentuk jaringan yang kuat sehingga kedua jenis protein ini bekerja secara kesinambungan sebagai perekat untuk menyangga trombosit disekitar pembuluh darah yang mengalami kerusakan. Tanpa vWF dan faktor VIII dalam jumlah yang normal, maka proses pembekuan darah akan memakan waktu yang lebih lama sehingga trombosit yang ada hanya akan melayang-layang dan tidak akan bisa menempel yang kemudian akan memicu terjadinya perdarahan secara berlebihan atau terus-menerus.
Seseorang yang mengidap penyakit vWD akan mengalami perdarahan secara berlebihan dan terus-menerus akibat terjadinya gangguan dalam proses pembekuan darah. Penyakit ini terjadi hampir sekitar 1% dari penduduk di seluruh dunia. Sebagian besar kasus von Willebrand memiliki gejala ringan, sehingga tidak terdiagnosis. Penyakit ini baru akan terdiagnosis apabila si penderita melakukan operasi atau ekstraksi gigi. Secara umum seseorang yang mengidap penyakit ini akan mengalami suatu gejala klinis ringan seperti, gusi yang suka berdarah setelah menyikat gigi, mimisan, biru-biru pada tubuh, menstruasi yang berlangsung dalam jangka waktu lama, dan perdarahan yang sulit berhenti
Seringkali orang menganggap bahwa penyakit von Willebrand ini serupa dengan penyakit hemofilia. Secara klinis gejala penyakit ini sama dengan hemofili, namun pada kenyataannya kedua penyakit ini berbeda. Perbedaan tersebut berdasarkan pola penurunannya dimana penyakit von Willebrand diturunkan secara autosomal sedangkan hemofili diturunkan secara resesif yang terkait kromosom X. Hal tersebut berarti bahwa penyakit von Willebrand dapat diturunkan secara merata baik pada pria maupun wanita. Sementara pada hemophilia sebagian besar terjadi pada pria. Apabila terjadi pada wanita, maka hanya akan ada dua kemungkinan, yaitu: wanita tersebut menjadi pembawa/carrier yang tidak bergejala atau kemungkinan wanita tersebut akan letal/meninggal saat dilahirkan. Dengan kata lain, hampir tidak pernah ada penderita hemophilia yang berjenis kelamin wanita, karena mereka sudah meninggal sejak lahir atau tidak bergejala sama sekali.
A. Sejarah von Willebrand Disease (vWD)
Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Lee dan Minot pada tahun 1920, dimana manusia dewasa mengalami masa perdarahan yang panjang dan adanya epistakis (perdarahan hidung) rekuran. Hingga penyakit von Willebrand ini berhasil diidentifikasi oleh Erik von Willebrand pada tahun 1926 di masyarakat Kepulauan Aaland, Finlandia. Penduduk di daerah tersebut diduga mengalami perdarahan yang berat yang berbeda dengan hemophilia klasik karena diturunkan secara autosomal dominan. Penyakit tersebut semula diberi nama oleh Erik von Willebrand dengan nama pseudohemofili namun saat ini penyakit tersebut disebut von Willebrand Diseases (vWD). Penyebab utama kelainan penyakit vWD ini semula masih belum diketahui hingga pada akhirnya 30 tahun setelah penemuan penyakit tersebut, yaitu sekitar tahun 1957 diketahui bahwa penyebab penyakit vWD adalah kekurangan atau tidak adanya suatu faktor dalam plasma darah.
Pada awal tahun 1970 suatu kelompok peneliti berhasil menemukan dan memurnikan protein yang dapat memperbaiki pembentukan bekuan plasma pada penderita hemophilia. Struktur glikoprotein vWF berhasil diidentifikasi pada tahun 1971 oleh Zimmerman hingga beberapa tahun kemudian diketahui bahwa penyakit vWD disebabkan oleh mutasi gen faktor von Willebrand (vWF) sehingga terjadi defisiensi atau disfungsi vWF. vWF adalah sejenis protein dalam sel darah merah yang diperlukan untuk pembekuan darah. Protein ini bekerja secara kesinambungan dengan faktor VIII, sejenis protein dalam darah yang berguna untuk membentuk jaringan yang kuat. Kerja sama antara vWF dan faktor VIII nantinya akan merekatkan jaringan sehingga menyangga trombosit di sekitar pembuluh darah yang mengalami kerusakan akibat luka/cedera. Tanpa vWF dan faktor VIII dalam jumlah yang normal, maka proses pembekuan darah akan terganggu dan memakan waktu yang lama.
B. von Willebrand Factor  (VWF)
von Willebrand Disease (vWD) merupakan sejenis kelainan penyakit yang disebabkan oleh gangguan proses pembekuan darah akibat kekurangan von Willebrand Factor (vWF) dan faktor VIII (FVIII) dalam darah. Sebelum membahas lebih jauh mengenai von Willebrand Disease (vWD) akan lebih baik jika mengetahui terlebih dahulu mengenai vWF dan FVIII beserta dengan fungsi dan rekomendasi nomenklatur yang digunakan.
C. Biosintesis vWF
vWF disintesis oleh dua jenis sel. Pada sel endothelium pembuluh darah, vWF yang disintesis setelah itu disimpan dalam granula sekretori (Weibel-Palade bodies) dari yang bisa dilepaskan oleh stress atau obat-obatan seperti desmopressin (DDAVP, 1-desamino-8-D-arginine vasopressin), sebuah analog sintetik pada vasopressin. vWF juga disintesis dalam megakariosit sumsum tulang dimana vWF tersebut disimpan dalam platelet alpha-granules dari yang dilepaskan melalui aktivasi.
DStruktur von Willebrand Factor (vWF)
Faktor von Willebrand matur memiliki struktur multimer yang merupakan gabungan beberapa oligomer. Gabungan ini bervariasi antara 2 oligomer sampai 50-100 oligomer. Bentuk multimer dari vWF merupakan bentuk yang potensial sebagai tempat ikatan multiple dengan trombosit dan struktur subendotel. vWF murni apabila dianalisis dengan mikroskop elektron akan memperlihatkan struktur filament sekitar 2-3 nm dan panjang mencapai 1300 nm. Oligomer vWF terbesar merupakan faktor yang paling efektif dalam adhesi dan agregasi trombosit. Multimer vWF memiliki jumlah yang terbatas di dalam darah karena dapat menyebabkan pembentukan thrombus. Keterbatasan multimer ini masih belum jelas diketahui penyebabnya, namun VWF hanya dapat aktif setelah bayi dilahirkan.
E. Fungsi von Willebrand Factor (vWF)
Faktor von Willebrand berperan penting dalam adhesi platelet yang merupakan langkah awal dalam pembentukan thrombus. vWF merupakan sebuah glikoprotein multimer yang berukuran besar, yang terdapat dalam plasma dan sub endothelium pembuluh darah.  Ikatan reversible antara vWF dengan glikoprotein akan terbentuk dari permukaan endotel yang luka. Ikatan ini nantinya akan memicu ikatan lainnya, sehingga terjadi aktivasi dan agregasi platelet. Selain dalam adhesi, vWF juga berperan sebagai mediator faktor koagulasi VIII.
FRekomendasi Nomenklatur vWF dan F VIII
vWF dan Faktor VIII merupakan  protein yang penting yang diperlukan dalam proses hemostasis. Untuk lebih memahami peran dari vWF dan faktor VIII pada penderita vWD, maka kita perlu mengetahui terminology nomenklatur VWF dan Faktor VIII yang  digunakan. Berikut ini merupakan hasil rekomendasi nomenklatur FVIII dan vWF oleh Intenational Society of Thrombosis and Hemostasis (ISTH). Berikut adalah rekomendasi nomenklatur tersebut dalam R. Sindunata (2006).
Tabel 1. Rekomendasi Nomenklatur FVIII dan vWF
Faktor VIII (FVIII)
Protein
FVIII
Antigen
FVIII:Ag
Fungsi
FVIII:C
Von Willebrand Factor (VWF)
Protein matur
vWF
Antigen
vWF:Ag
Ristocetin cofactor activity
vWF:RCo
Collagen binding capacity
vWF:CB
Factor VIII binding capacity
vWF:FVIIIB


 G. Proses Hemostasis pada von Willebrand Disease (vWD)
Penyakit von Willebrand adalah sejenis penyakit kelainan darah akibat kekurangan von Willebrand Factor (vWF) dan faktor VIII dalam darah. Penyakit ini bersifat keturunan/herediter, baik secara autosomal dominan, autosomal resesif maupun terkait X linked rescesive. Pada orang normal ketika mengalami luka/cedera yang menyebabkan perdarahan, maka perdarahan tersebut akan segera berhenti dengan sendirinya karena adanya mekanisme hemostasis yang merupakan sebuah mekanisme tubuh untuk menghentikan perdarahan. Hemostasis adalah proses pembekuan darah dengan cara terbentuknya benang-benang fibrin, sehingga darah membeku. Proses pembekuan darah ini tentunya tidak lepas dari diperlukannya 13 faktor pembekuan darah yang terdapat dalam  plasma. Apabila kadar dari 13 faktor tersebut normal, maka proses pembekuan darah akan berjalan dengan baik pada batas waktu tertentu. Pada penderita vWD, akibat adanya defisiensi vWF dan faktor VIII mengakibatkan pembekuan darah berjalan lebih lama dari semestinya sehingga darah akan sukar membeku dan tentunya hal tersebut akan mengganggu proses hemostasis yang berjalan.
Proses hemostasis secara fisiologi terdiri atas 4 tahapan yang terjadi secara simultan segera setelah adanya luka pada endothelium pembuluh darah. Adapun tahapannya antara lain fase vasokonstriksi (fase vaskuler), pembentukan sumbat trombosit (hemostasis primer-fase trombosit), hemostasis sekunder- pembentukan fibrin, dan fibrinolisis.
1. Vasokonstriksi dan Hemostasis primer
Proses ini diawali dengan proses adhesi trombosit yang diinisiasi oleh interaksi antara reseptor glikogen Ib (GPIb) pada permukaan trombosit dengan faktor von Willebrand, selain itu trombosit akan mengikat kolagen pada subendothelial pembuluh darah. Setelah itu trombosit menjadi teraktivasi dan mengeluarkan granul α dan granul dens sehingga terjadi agregasi trombosit dan vasokonstriksi pembuluh darah. Agregasi trombosit akan membentuk plug trombosit, langkah akhir dari proses hemostasis primer yang dimediasi oleh reseptor glikoprotein IIb/IIIa (GPIb/IIIa).
Pada penderita vWD, proses adhesi tromobosit dapat terganggu akibat kurangnya von Willebrand Factor (vWF)yang disebabkan oleh mutasi genetic. Selain itu, kurangnya vWF tersebut juga akan mempengaruhi proses selanjutnya sehingga agregasi trombosit juga akan terganggu sehingga proses hemostasis primer pun berjalan tidak sempurna dan dapat menggangu terjadinya proses hemostasis selanjutnya dan memicu terjadinya perdarahan secara terus-menerus.

Gambar 1. Adhesi trombosit dimediasi ikatan faktor von Willebrand-reseptor glikoprotein Ib (vWF-GPIb) yang kemudian dilanjutkan dengan agregasi trombosit ikatan reseptor glikoprotein IIb/IIIa dengan fibrinogen 4.

2. Hemostasis sekunder
Hemostasis sekunder dimulai bersamaan setelah sumbat hemostatik terbentuk. Aktivasi jalur intrinsic dimulai dengan aktivasi faktor XII (FXII), FXI yang akhirnya akan mengaktivasi FX. Jalur instrinsik ini disebut dengan activated thromboplatin time (aPTT). Sedangkan jalur ekstrinsik dimulai dengan aktivasi FVII dan berakhir pada aktivasi FX. Jalur Instrinsik berfungsi untuk melakukan aktivasi faktor pembekuan yang secara tepat bekerja pada komponen pembekuan yang ada dalam darah. Sedangkan jalur ekstrinsik memiliki peran penting dalam melakukan inisiasi hemostasis sekunder (melalui tissue factor). Kedua jalur tersebut nantinya akan masuk kedalam jalur bersama (common pathway) melalui aktivasi FX menjadi FXa yang akan membentuk kompleks protrombinase saat bersama dengan FVa. Protrominase kemudian akan menjadi thrombin yang mengubah fibrinogen menjadi benang-benang fibrin.
3. Fibrinolisis
Setelah terjadinya pembekuan darah, proses koagulasi akan dilanjutkan dengan proses fibrinolisis yang diawali dengan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) melakukan regulasi dengan cara melakukan hambatan aksi kompleks TF/VIIa. Proses fibrinolisis ini terdiri dari plasminogen dan seluruh activator (urokinase, streptokinase, dan Tpa) yang mampu mengubah plasminogen menjadi bentuk aktif, yaitu plasmin. Plasmin nantinya akan menghentikan dan menghilangkan bekuan fibrin.
D.    Gejala Klinis von Willebrand Disease (vWD)
Secara umum, penyakit vWD tidak separah penyakit gangguan perdarahan lain seperti hemofili. Sebagian besar penderita penyakit ini hanya menunjukkan gejala klinis yang ringan. Gejala yang ringan inilah yang menyebabkan banyak orang tidak menyadari bahwa ia mengidap vWD. Gejala penyakit ini baru akan diketahui setelah penderita mengalami suatu tindakan seperti operasi/tindakan bedah dan ekstraksi gigi karena mengalami komplikasi perdarahan. Selain itu, perdarahan juga sering terjadi pada gusi.
Penyakit vWD tidak menampakkan gejala yang tetap atau pasti antara pengidap vWD yang satu dengan yang lainnya. Setiap pengidap memiliki gejala yang berbeda-beda. Pada penderita autosomal dominan, gejala klinisnya ditandai dengan seringnya perdarahan kulit dan mukosa. Pada autosomal resesif, gejalanya berupa hemartrosis (perdarahan pada persendian) dan perdarahan intramuscular akibat kadar faktor VIIIc yang merupakan sub unit dari faktor VIII sangat rendah. Pada penderita terkait X linked recesive terjadi tanpa gejala.
HKlasifikasi Von Willebrand Disease (vWD)
Von Willebrand Disease (vWD) diklasifikasikan menjadi 3 jenis berdasarkan kriteria yang dikembangkan oleh VWF Subkomite dari ISTH (International Society of Thrombosis and Hemostasis). Klasifikasi ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1994 dan direvisi pada tahun 2006. Klasifikasi ini dimaksudkan agar gejala klinis yang dialami relevan dengan pengobatan vWD. vWD dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu kelainan kuantitas (tipe 1 dan tipe 3) dan kualitas VWF (tipe 2). Berikut di bawah ini merupakan tabel klasifikasi dari vWD dalam R. Sindunata (2006).
Tabel 1. Klasifikasi vWD
Defisiensi VWF Kuantitatif
Tipe 1
Defisiensi VWF parsial
Tipe 3
Defisiensi VWF lengkap
Defisiensi VWF Kualitatif
Tipe 2
Defisiensi VWF kualitatif
Tipe 2A
Penurunan fungsi akibat tidak adanya multimer besar VWF
Tipe 2B
Penurunan fungsi akibat peningkatan afinitas terhadap GPIb trombosit
Tipe 2M
Penurunan fungsi bukan akibat tidak adanya multimer besar VWF
Tipe 2N
Penurunan afinitas terhadap faktor VIII

Tipe 1 vWD ditemukan pada orang yang memiliki kekurangan parsial kuantitatif VWF. Tingkat VWF dalam plasma rendah dan atau trombosit. Penyakit vWD tipe 1 ditandai dengan hilangnya beberapa faktor vWD dan menyebabkan perdarahan ringan sampai sedang. Seringkali beberapa orang tidak menyadari bahwa mereka menderita vWD. Pada vWD tipe 2 memiliki cukup faktor Von Willebrand dalam jumlah cukup namun tidak berfungsi. Sedangkan vWD tipe 3 tidak didapatkan VWF di dalam plasma dan atau trombosit. Penyakit vWD tipe 3 merupakan tipe yang paling berbahaya dan ditandai dengan kekurangan secara lengkap vWD atau dalam artian memiliki jumlah VWF yang sangat sedikit sehingga menyebabkan terjadinya perdarahan berat.
I.Tes Diagnosis Von Willebrand Disease (vWD)
Untuk mengetahui seseorang menderita vWD, maka diperlukan suatu tes pemeriksaan laboratorik untuk mendiagnosis penyakit tersebut. Berikut adalah beberapa pemeriksaan laboratorik vWD menurut Endang Winianti (1993):
1. Menguji masa perdarahan
Menguji masa perdarahan akan lebih sensitive dengan cara Ivy. Keadaan normal masa perdarahan adalah 1 sampai dengan 6 menit. 83% pasien vWD mengalami masa perdarahan yang lebih panjang.
2.  Menguji kadar faktor VIIIc
Penurunan kadar faktor VIIIc pada pasien vWD umumnya terjadi pada tingkat sedang, yaitu antara 5 u/dl sampai dengan 30 u/dl. Namun ada pula varian vWD yang kadar faktor VIIIc-nya normal.
3. Menguji kadar faktor VIIIAg
Menguji kadar faktor VIIIAg ini dengan menggunakan metode immunoassay. Kadar faktor VIIIAg pada penderita vWD adalah sekitar 50% dari nilai normal, perbandingan kadar faktor VIIIc dengan kadar faktor VIIIAg dalam keadaan normal adalah 0,74 sampai 2,20. Pada varian X-link recesive dan autosomal dominan, kadar faktor VIIIAg normal tetapi perbandingan kadar faktor VIIIc dengan faktor VIIIAg rendah.
4.      Menguji agregasi trombosit
Menguji agregasi trombosit dilakukan dengan memberikan antibiotic ristosetin atau dengan menambahkan adenosine diphospat pada trombosit pasien vWD. Trombosit dalam keadaan normal, penambahan ritosetin akan menyebabkan terjadinya agregasi trombosit. Pada pasien vWD, agregasi trombosit akan terganggu setelah pemberian ritosetin, sehingga menyebabkan perdarahan memanjang. Pemberian/induksi ritosetin dan adenosine diphosphat juga akan menyebabkan penurunan adhesi dan agregasi trombosit
5.      Menguji retensi trombosit
Retensi trombosit diukur dengan cara mengamati daya lekat trombosit pada gelas (plateletglass adhesiveness). Dengan pengujian ini, 80-100% kasus vWD mengalami defisiensi retensi trombosit.
6.      Tes toleransi terhadap aspirin
Pemberian aspirin pada pasien vWD akan menyebabkan perdarahan memanjang. Pada percobaan ini diberikan 10 gram aspirin (5 gram untuk anak-anak) dengan masa perdarahan diukur 2 jam sebelum dan 2 jam setelah pemberian aspirin



G.    Terapi untuk Von Willbrand Disease (vWD)
Terapi untuk mencegah vWD meliputi 3 strategi umum. Strategi pertama adalah untuk meningkatkan konsentrasi plasma VWF dengan melepaskan VWF endogen melalui stimulasi sel endotel dengan DDAVP. Strategi yang kedua adalah dengan mengganti VWF dengan menggunakan turunan plasma manusia, konsentrat viral-inactivated. Strategi ketiga dengan mempekerjakan agen yang mempromosikan hemostasis dan penyembuhan luka namun tidak secara substansial mengubah konsentrasi plasma.
Ketiga strategi pengobatan tersebut tidak saling berkesinambungan. Pasien penderita vWD hanya dapat menerima satu dari ketiga pilihan yang ada. Pilihan terapi tersebut tergantung pada jenis dan keparahan vWD, tingkat keparahan hemostatik yang dihadapi, dan sifat aktual atau potensial perdarahan.




DAFTAR PUSTAKA

Davey, Patrick. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga. 2005
Dr. Santoso, Sp. PD. Penyakit Von Willebrand. Majalah kasih Edisi 29 (Januari-Maret 2012). http://majalahkasih.pantiwilasa.com/detailpost/penyakit-von-willebrand. Diakses pada tanggal 19 Februari 2017 Pukul 20.30 WIB.
Ikatan Dokter RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Current Evidence in Pediatric Practices. Jakarta:Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2014. http://fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2016/01/Buku-PKB-67.pdf. Diakses pada 23 Februari 2017 Pukul 21.00 WIB.
MFJ, Mantik. Gangguan Koagulasi. Sari Pediatri, Vol.6, No.1 Juni 2004: 60-67. http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/6-1-7s.pdf. Diakses pada tanggal 19 Februari 2017 Pukul 20.30 WIB.
Pusparini. Peran Faktor Von Willebrand dalam Sistem Hemostasis. Jurnal bagian patologi klinik Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. http://www.univmed.org/wp-content/uploads/2011/02/Willebrand.pdf. Diakses pada tanggal 19 Februari 2017 Pukul 19.30 WIB.
Riyanti, Eriska. Gangguan Perdarahan Pada Perawatan Gigi dan Mulut. Jurnal Bagian Kedokteran Gigi Anak Universitas Padjajaran. http://repository.unpad.ac.id/6065/1/gangguan_pendarahan_pada_perawatan_gigi.pdf. 2003. Diakses pada tanggal 19 Februari 2017 Pukul 20.30 WIB.
Renaldi, Raymond. Darah Sulit Membeku Akibat VWD. http://nasional.kompas.com/read/2010/05/12/09382190/darah.sulit.membeku.akibat.vwd. Diakses pada tanggal 19 Februari 2017 Pukul 20.30 WIB.
Sari, Ita Muharram dan Mohammad Saiful Islam. Perbandingan antara Derajat Fungsional Neurologis dengan Kadar Faktor Willebrand pada Pasien Stroke Trombotik Akut. Artikel penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga tahun 2015. http://mnj.ub.ac.id/index.php/mnj/article/download/31/70. Diakses pada tanggal 19 Februari 2017 Pukul 20.30 WIB.
Sindunata, R dan M. Y. Probohoesodo. Faktor Patogenesis dan Diagnosis Penyakit von Willebrand. http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-PDF%20Vol%2013-01-07.pdf. Diakses pada tanggal 19 Februari 2017 Pukul 19.30 WIB.
U.S Department of Health and Human Services. The Diagnosis, Evaluation, and Management of von Willebrand Disease. NIH Publication No. 08-5832 December 2007. https://www.nhlbi.nih.gov/files/docs/guidelines/vwd.pdf. Diakses pada tanggal 19 Februari 2017 Pukul 19.30 WIB.
Winiati, Endang. Gejala Klinik dan Pemeriksaan Laboratorik Penyakit Von Willebrand’s (Studi Pustaka). Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Vol.1, No.1, 1993. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=364975&val=6661&title=Gejala%20Klinik%20dan%20Pemeriksaan%20Laboratorik%20Penyakit%20Von%20Willebrand%C3%A2%E2%82%AC%E2%84%A2s%20(Studi%20Pustaka). Diakses pada tanggal 19 Februari 2017 Pukul 19.30 WIB.